Buat Sahabat Yang Jauh Di Sana

Selamat Malam dan Salam Kebahagiaan buat semua.

Mungkin ini adalah entri terakhir buat minggu ini dan minggu depan. Menjelang pagi esok, aku akan berangkat untuk mendaftarkan diri di salah sebuah IPTA yang berhampiran dengan rumahku. Buat teman-teman IKIP, mungkin ini pilihan terbaik aku. Bob, Malik, Shah, Shafiq, Iwan, Sham, korang semua memang terbaik. Tiada gantinya.
Tumpuan aku malam ini kepada sahabat-sahabat Imtiaz Dungun yang telah berada di Jordan dan Mesir. Tak tahulah mereka masih ingat kepada kami di Tanah Air namun kami di sini sentiasa mengingati mereka. Kenapa tiba-tiba je aku ni? Dah dua bulan aku 'menganggur' di rumah sebaik berhenti di IKIP dan menunggu tarikh pendaftaran esok. Nobody in Dungun except Mubin, Syedi dan Luq. Tu je yang sempat aku jumpa sepanjang 'percutian' aku tu. Yang lain? Ikhwan dan Ahnaf dah ke Jordan, Sufian dah ke Mesir. Kadang-kadang Daus datang ke Dungun bersama Aiman tapi sekarang kedua-duanya dah ke Mesir. Azim pulak, tak cuti. No more gathering.
Berbuka Puasa Bersama Buat Kali Terakhir

Arsyad dan Nadzim

Aiman dan Daus (memandu) sewaktu ke Mesra Mall

Inilah di antara gambar-gambar terakhir yang sempat diambil sebelum mereka berangkat ke luar negara. Masih ingatkah saat ini? Bolehkah saat ini berulang kembali? Maaf, aku banyak khilaf dan kesilapan dahulu. Aku tidak menghargai kalian semua. Aku banyak menyakitkan hati, aku banyak berbuat dosa dengan kalian. Adakah lagi kemaafan untuk aku? Selautan kemaafan pun yang diberikan, apa yang sudah berlaku tak mungkin dapat dipadam lagi. Walau ditangisi hingga kering air mata, lipatan masa tetap mencatatkan perilaku tersebut. Mungkin amat terlewat aku menyedari khilafku. Mungkin ada suara kebencian namun apa yang terdaya, hanya hamparan kemaafan dariku.

Lembayung rahmat sentiasa terbuka untuk kalian. Perbetulkan niat kalian ke sana, teguklah seberapa mampu ilmu yang ada dan aplikasikan dalam kehidupan. Kami di sini tidak berpeluang seperti kalian di sana. Tuhan tidak mengizinkan kami bersama kalian diluar sana. Jagalah diri kalian di sana. Bertahun lamanya kita melihat antara satu sama lain di sekolah. Tinggal pula di asrama. Dari awal pagi waktu membuka mata, kita berjumpa antara satu sama lain di surau, dewan makan, kelas, prep, kamar, padang dan lain-lain tempat sehinggalah waktu untuk menutup kembali mata di malam harinya.
 Ada di antara mereka yang sudah 'tiada' bersama kita
 Bila lagikah mereka akan ada bersama-sama semula? Pulang dari oversea, mungkin sudah disibukkan dengan karier. Makanya, buat semua sahabat-sahabat sekalian, di waktu masih ada kesempatan, pergunakanlah ia sebaiknya. Biarpun tidak seramai gambar di atas seperti zaman persekolahan dahulu, memadailah beberapa orang sahaja dari tiada langsung. Buat yang masih bersama rakan-rakan di bangku sekolah, hargailah saat itu kerana perpisahan adalah tidak terduga dan berlaku dengan pantas. Masing-masing akan bawa haluan sendiri apabila tiba masanya. Best friend, BFF atau apa-apa yang bersamaan dengannya, kemungkinan untuk bersama lagi amatlah kecil. Yang penting, adalah menghargai.

Mungkin sekarang kami yang ada di tanah air dapat berkumpul sesama kami dan kalian yang jauh di sana dapat berkumpul sesama kalian, namun perpisahan akan tiba jua. Haluan sendiri akan dibawa untuk karier. Selepas berkahwin, tumpuan kepada rumah tangga pula. Memang kita boleh berkumpul sesama kita lagi namun sekerap dahulukah? Selama dahulukah? Boleh bersama-sama ke sana sini seperti dahulukah? Buat yang jauh di sana, kami telah kehilangan kalian dan kalian telah kehilangan kami. Mungkin ada antara kalian akan pulang ke tanah air sewaktu cuti namun jadual kita semua samakah? Tiada jaminan kami dapat menyambut kalian dan menghabiskan masa bersama kalian.

Jangan dilupakan pada tanah air. Tempat yang akan kembali sejurus tamat pengajian nanti. Tempat lahirnya kalian, tempat tinggalnya ayahanda dan bonda kalian sekarang. Apa khabar mereka sekarang? Rindukah mereka pada kalian? Seseronok manapun kalian di sana, jangan pernah dilupa pada tanah air. Kalian telah menyambut Hari Raya Aidiladha 1432H di sana baru-baru ini, tidak sama bukan dengan kami di sini? Tahun lepas kalian bersama keluarga dan sanak-saudara di pagi raya, menziarahi kubur, bersalam-salaman namun bukankah sekarang kalian sudah kehilangannya buat sementara? Hanya yang ingin aku sampaikan, hargaialah detik yang ada bersama-sama kami di tanah air, tidak kira bersama keluarga, saudara-mara mahupun sahabat handai. Detik yang datang akan pergi dan tidak akan kembali sekalipun ditangisi.

Kami di sini, amat merasai 'kehilangan' kalian. Tidak kisahlah kami di sini merujuk kepada keluarga atau sahabat, namun yang pasti hidup kami tidak akan sama seperti sebelumnya dan akan terus berubah dari hari ke hari. Mungkin sewaktu kalian di sana, tiba-tiba pada suatu hari kalian mendengar berita kematian salah seorang dari kami di sini, termasuklah aku sendiri, kalian tidak akan berjumpa dengan si dia itu lagi. Hanya kenangan yang mampu diingati. Begitu juga kami, jika salah seorang dari kalian pergi dengan tiba-tiba, kami tidak akan berjumpa dengan si dia itu lagi. Maka, saling memaafkanlah dan buanglah sifat benci antara kita sebelum ia menjadi realiti. Di saat itu, kita takkan berjumpa lagi dan menyesallah kita kerana tidak pernah menghargai detik bersama.
Suatu kisah yang aku tinggalkan sebelum aku mengundur diri. Ambillah pengajaran dan iktibar yang ada dari kisah ini.
Di tanah Kurdistan, ada seorang raja yang adil dan shalih. Dia memiliki putra, seorang anak lelaki yang rupawan, pemberani, cerdas dan patuh. Detik-detik yang paling membahagiakan raja adalah, ketika dia mengajari anaknya itu membaca kalam ilahi Al-Qur’an Al-Karim. Sang raja juga menceritakan kepadanya kisah-kisah kepahlawanan para panglima dan tentaranya di medan pertempuran. Anak raja yang bernama Said itu, sangat gembira mendengar penuturan kisah ayahnya. Said merasa sangat jengkel jika di tengah- tengah ayahnya bercerita, tiba-tiba ada saja yang mengganggunya atau memutuskannya.
Tidak jarang, ketika sedang asyik menghayati cerita ayahnya, dengan tiba-tiba pengawal memberitahukan bahwa ada tamu penting yang harus ditemui oleh raja. Sang raja paham apa yang dirasakan anaknya.
Dengan bijak, ayahnya memberi nasihat kepada putranya, “Anakku Said, sudah waktunya kau mencari sahabat sejati yang setia dalam suka dan duka serta menjadi ubat bagimu. Seorang sahabat yang baik, yang akan rela membantumu untuk menjadi  orang baik dan berguna. Sahabat sejati yang kau ajak saling mencintai untuk surga.”
Said terkejut dan penuh tanya mendengar perkataan ayahnya yang bijak itu.
“Apa maksud Ayahanda dengan sahabat yang boleh diajak saling mencintai untuk surga?” tanya Said penuh penasaran.
“Dia adalah sahabat sejati yang benar-benar mahu bersahabat dengan dirimu, bukan karena derajatmu, akan tetapi karena kemurnian cinta itu sendiri, yang terbentuk dari keikhlasan hati. Dia mencintaimu kerana Allah. Dengan dasar itu, kau pun mencintainya dengan penuh keikhlasan; kerana Allah. Kekuatan cinta kalian akan melahirkan kekuatan yang luar biasa yang membawa manfaat dan kebaikan. Kekuatan cinta itu pula akan bersinar dan membawa kalian masuk ke dalam jannah atau surga.”
“Bagaimana cara mencari sahabat sejati itu, wahai Ayahanda?” tanya Said.
Sang raja menjawab, “Kamu harus menguji orang yang hendak kau jadikan sahabat sejati. Ada sebuah cara menarik untuk menguji mereka. Undanglah sesiapa pun yang kau anggap sesuai, untuk menjadi sahabatmu saat makan pagi di sini, di istana. Jika sudah sampai di sini, hulurkanlah dan pelawalah dia ketika di waktu penyajian makanan.  Biarlah mereka semakin lapar. Lihatlah apa-apa yang kemudian mereka perbuat. Saat itu, rebuslah tiga butir telur. Jika ia tetap bersabar, hidangkanlah tiga telur itu kepadanya. Lihatlah, apa yang kemudian yang mereka perbuat! Itulah cara yang paling sederhana bagimu. Syukur, jika kau boleh mengetahui perilakunya lebih dari itu.”
Said sangat gembira mendengar nasihat dari ayahandanya seorang raja yang shalih. Dia pun mulai melakukan apa yang dikatakan ayahandanya,d ia mempraktikkan cara mencari sabahat sejati yang cukup langka itu. Mula-mula, ia mengundang anak-anak para pembesar kerajaan satu persatu. Sebahagian besar dari mereka marah-marah karena hidangan tidak keluar-keluar. Bahkan, ada yang pulang tanpa izin dengan hati kesal, ada yang memukul meja, ada yang melontarkan kata-kata kesat dan mencaci maki karena terpaksa terlalu lama menunggu hidangan.
Di antara teman anak raja itu, ada seorang yang bernama Adil. Dia anak seorang menteri. Said melihat, sepertinya Adil anak yang baik hati dan setia. Maka, dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk sarapan pagi. Adil memang lebih sabar dibandingkan anak-anak pembesar sebelumnya. Dia menunggu keluarnya hidangan dengan setia. Setelah dirasakan cukup, said mengeluarkan sebuah piring berisi tiga telur rebus.
Melihat itu, Adil berkata keras, “Hanya ini sarapan kita? Itu tidak cukup mengisi perutku.”
Adil tidak mau menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja meninggalkan Said sendirian. Said terdiam. Tidak perlu meminta maaf pada Adil karena telah meremehkan hidangan itu yang telah direbus oleh Said. Dia mengerti Adil tidak lapang dada dan tidak cocok menjadi sahabat sejatinya.
Hari berikutnya, dia mengundang anak seorang saudagar terkaya. Tentu saja, anak saudagar itu sangat senang mendapat undangan makan pagi dari seorang pangeran. Pada malam harinya, sengaja dia tidak makan agar paginya bisa makan sebanyak mungkin. Dia membayangkan, makanan anak raja pasti enak dan lezat.
Pagi-pagi hari, anak saudagar kaya itu telah datang menemui said. Seperti anak-anak sebelumnya, dia harus menunggu waktu yang lama sampai makanan dihidangkan. Akhirnya Said membawa piring dengan tiga piring berisis tiga butir telur.
“Ini makanannya, saya ke dapur dulu mengambil air minum,” kata Said seraya meletakkan piring itu di atas meja.
Lalau, Said masuk ke dalam. Tanpa menunggu lagi, anak saudagar itu langsung melahap satu persatu telur itu. Tidak lama kemudian, Said keluar membawa dua gelas air putih. Dia melihat ternayata tiga telur itu telah lenyap.
“Mana telurnya?” tanya Said pada anak saudagar.
“Telah aku makan.”
“Semua?”
“Ya, habis aku lapar sekali.”
Melihat itu Said langsung tahu bahwa anak saudagar itu juga tidak bisa dijadikan sahabat setia. Dia tidak setia. Tidak bisa merasakan suka duka bersama. Sesungguhnya, Said belum makan apa-apa.
Said merasa jengkel kepada anak-anak di sekitar istana. Mereka semua mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan. Mereka tidak pantas menjadi sahabat sejatinya. Akhirnya ia meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mencari sahabat sejati.
***
Akhirnya, Said berpikir mencari sahabat di luar istana. Kemudian, mulailah Said mengembara melewati hutan ladang, sawah, dan kampung-kampung untuk mencari seorang sahabat yang baik.
Sampai akhirnya, pada suatu hari yang cerah, dia bertemu dengan anak seorang pencari kayu yang berpakaian sederhana. Anak itu sedang memanggul kayu bakar. Said mengikutinya diam-diam sampai anak itu tiba di pondoknya. Rumah dan pondok anak itu menunjukkan bahwa ia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda kecerdasan dan kebaikan hati. Anak itu mengambil air wudhu’, lalu shalat dua raka’at. Said memerhatikannya dari balik pohon.
Selesai shalat, Said datang dan menyapa, ”Kawan, kenalkan aku Said. Kalau boleh tahu, namamu siapa? Kau tadi shalat apa?”
“Namaku Abdullah. Tadi itu shalat dhuha.”
Lalu, Said meminta anak itu agar bersedia bermain dengannya, dan menjadi temannya.
Namun, Abdullah menjawab, “Kukira kita tidak cocok menjadi sahabat. Kau anak seorang kaya, malah mungkin anak bangsawan. Sedang aku, anak miskin. Anak seorang pencari kayu bakar.”
Said menyahut, “Tidak baik kau mengatakan begitu. Mengapa kau membeza-bezakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Semuanya sama, hanya takwa yang membuat orang mulia di sisi Allah. Apakah aku kelihatan seperti anak yang jahat sehingga kau tidak mahu berkawan denganku? Mengapa tidak kita cuba untuk beberapa waktu dulu? Kemudian, kau boleh menilai, apakah aku sesuai atau tidak menjadi sahabatmu.”
“Baiklah kalau begitu, kita bersahabat. Akan tetapi, dengan syarat, hak dan kewajiban kita sama, sebagai sahabat seia dan sekata.”
Said menyertai syarat yang diajukan oleh anak pencari kayu itu. Sejak hari itu, mereka bermain bersama ; pergi ke hutan bersama, memancing bersama, dan berburu binatang bersama.  Anak tukang kayu itu mengajarkannya berenang di sungai, menggunakan panah, dan memanjat pokok di hutan. Said sangat gembira sekali berteman dengan anak yang cerdas, rendah hati, dan setia. Akhirnya, dia kembali ke istana dengan hati gembira.
Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya. Anak pencari kayu itu langsung mengajaknya makan di pondoknya. Dalam hati, Said merasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan, dia telah diundang makan.
Di pondok itu, mereka makan seadanya. Sepotong roti, garam, dan air putih. Namun, Said makan dengan sangat lahap. Ingin sekali rasanya dia minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu anak pencari kayu ini sedang mengujinya. Oleh karena itu, Said merasa cukup dengan yang diberikan kepadanya.
Selesai makan, Said mengucapkan hamdallah dan tersenyum. Setelah itu, mereka kembali bermain. Said banyak menemukan hal-hal baru di hutan, yang tidak ia dapatkan di istana. Oleh sahabatnya itu, dia diajarkan untuk mengenali dan membezakan jenis daun dan buah-buahan di hutan; antara daun dan buah yang boleh dimakan, yang boleh dijadikan obat.
“Dengan mengenal jenis buah dan daun di hutan secara baik, kita tidak risau jika suatu ketika tersesat. Persediaan makanan ada di sekitar kita. Inilah keagungan Allah!” kata anak pencari kayu.
Seketika itu, Said bahwa ilmu tidak hanya boleh didapat di madrasah seperti di ibu kota kerajaan. Ilmu ada di mana-mana. Bahkan di hutan sekalipun. Hari itu Said banyak mendapatkan pengalaman berharga.
Ketika matahari sudah condong ke Barat, Said meminta izin kepada sahabatnya itu untuk pulang. Tidak lupa, Said mengundangnya makan di rumahnya pagi esok. Lalu, dia memberikan secarik kertas pada temannya.
“Pergilah ke ibu kota, berikan kertas ini kepada tentera yang kau temui di sana. Dia akan menghantarkanmu ke rumahku, “ kata Said sambil tersenyum.
Insya Allah aku akan datang,” jawab anak pencari kayu itu.
Pagi harinya, anak pencari kayu itu sampai juga ke istana. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Said adalah anak raja. Mulanya dia ragu untuk masuk ke istana. Akan tetapi, apabila mengingatkan kebaikan dan kerendahan hati Said selama ini, dia berani masuk juga.
***
Said menyambutnya dengan dengan hangat, penuh rasa persahabatan dan senyum gembira. Seperti anak-anak sebelumnya yang telah diundang makan di ruang makan itu, Said pun menguji temannya ini. Dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, anak pencari kayu itu sudah biasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama beberapa hari. Atau, terkadang makan daun-daun mentah saja. Dia hanya berpikir, seandainya semua anak bangsawan boleh sebaik anak raja ini, tentu dunia akan tenteram.
Selama ini, dia mendengar bahwa anak-anak pembesar kerajaan, senang berfoya-foya. Namun, dia menemukan seorang anak raja yang santun dan shalih.
Akhirnya, tiga butir telur telah dimasak pun dihidangkan. Said mempersilakan sahabatnya untuk  makan. Anak pencari kayu itu mengambil satu. Lalu, dia mengupas kulitnya perlahan-lahan. Sementara Said mengupas dengan cepat dan menyantapnya. Kemudian, dengan senagaja Said mengambil telur yang ketiga. Dia mengupasnya dengan cepat, dan melahapnya. Sahabatnya selesai mengupas telur. Said ingin melihat apa yang akan dilakukan sahabatnya dengan sebutir telur itu, apakah ia akan memakannya sendiri atau…?
Anak pencari kayu itu mengambil pisau yang ada di dekatnya. Lalu, dia membelah telur itu menjadi dua; yang satu ditangannya, dan yang satunya lagi, dia berikan kepada Said. Tidak syak lagi, Said pun menangis dengan terharu.
Lalu Said pun memeluk anak pencari kayu bakar itu erat-erat seraya berkata, “Engkau sahabat sejatiku! Engkau sahabat sejatiku! Engkau sahabatku masuk surga.”
Sejak saat itu, keduanya bersahabat dengan sangat akrab. Persahabatan mereka melebihi saudara kandung. Mereka saling mencintai dan saling menghormati karena Allah Swt.
Karena kekuatan cinta itu, mereka bahkan sempat bertahun-tahun mengembara bersama untuk belajar dan berguru kepada ulama yang tersebar di Turki, Syiria, Irak, Mesir dan Yaman.
Bulan berganti bulan dan tahun, akhirnya keduanya menjadi dewasa. Raja yang adil; ayahanda Said, meninggal dunia. Akhirnya Said diangkat menjadi raja untuk menggantikan ayahandanya. Menteri yang pertama kali dia pilih ialah Abdullah, anak pencari kayu itu. Abdullah pun benar-benar menjadi sahabat seperjuangan dan penasihat raja.
Meskipun telah menjadi raja dan menteri, keduanya masih sering melakukan shalat tahajjud dan membaca Al-Qur’an bersama. Kecerdasan dan kematangan jiwa keduanya mampu membawa kerajaan itu menjadi maju, makmur, dan jaya; baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur (Dipetik dari cerita sahabat syuga.)

Akhir kata, jangan lupakan kami di sini dan kami tidak akan sesekali melupakan kalian. Selamat hari jadi yang ke 18 buat Arif Arsyad Bin Suhaili yang kini jauh di Jordan. Semoga panjang umul dan maintain 'katang'. Jauh sambut birthday tahun ni. Hehe.. Buat semua, doakan aku yang akan berhijrah ke medan ilmu yang baru pagi esok. Assalamualaikum.

~tak berkemas apa lagi ni. Budak gemuk, thanks for care. Maaf neh, saya tak kemas lagi masa awak call tadi. Jangan marah tau! wish me good luck~

Harry Potter - Golden Snitch